Langsung ke konten utama

Belajar dari Perubahan *)


Apa beda jaman dulu dan sekarang?
Banyakkah yang berbeda dari jaman dulu dan sekarang?
Hmm, sepertinya tidak perlu diurai satu-satu sudah bisa tergambar. Tidak perlu jauh-jauh membedakan jaman sekarang dan jaman perjuangan, cukup membandingkan jaman sekarang dengan masa sepuluh tahun yang lalu juga sudah cukup.
Coba mengambil satu sample saja, tentang bahasa. Jadi ingin bercerita sedikit kejadian yang baru kualami kemarin sore (21/06/10). Dalam perjalanan pulang menggunakan angkot, kutemui sebuah pemandangan yang begitu menarik perhatianku. Seorang ibu bercakap-cakap dengan anak lelakinya yang kira-kira berusia 5 tahun dengan menggunakan bahasa Jawa krama alus.
Bukan sepatah dua patah kata, tapi semua kalimat. Terlihat jelas dari celotehan si Bocah yang cukup cerewet dan banyak bertanya kepada ibunya.
“Mak, astone gatel kenang wulu-wulu” atau “Deneng mboten teng Moro, Mak?”
Dan lain sebagainya, yang ditanggapi si Ibu dengan bahasa Jawa Krama juga. Ini membuatku terbengong-bengong melihatnya. Jaman bahasa alay masih ada yang mengajarkan bahasa halus seperti itu pada anaknya. Benar-benar jarang ditemukan. Sekarang mungkin yang sebenarnya orangtua dapat berbahasa Jawa lebih memilih menggunakan komunikasi berbahasa Indonesia dengan alasan pasangannya tidak dapat berbahasa Jawa. Tapi why not?
Lalu sekarang kita flashback ke masa 10 atau 15 tahun yang lalu, jaman ketika aku masih kecil (aku baru bisa membandingan dengan masaku dulu). Meskipun juga sudah jarang, tapi masih bisa kutemui teman-teman sepermainanku berkomunikasi dengan orangtuanya menggunakan bahasa Jawa krama alus. Bahkan beberapa juga berkomunikasi denganku juga demikian.
Di rumah, orangtuaku memang mengajarkanku untuk berkomunikasi menggunakan bahasa Jawa krama alus sehingga tidak terlalu sulit bagiku jika harus berkomunikasi dengan teman-temanku itu atau saat berkunjung ke rumah teman dan harus menyapa orangtua mereka. Dulu aku pernah berfikir, tak masalah jika itu kugunakan saat berbicara dengan orang yang lebih tua. Tapi ketika itu dengan teman sebayaku, entah mengapa aku merasa jadi canggung.
Pergaulan dengan bermacam-macam teman pun tak urung sedikt menggeser keberadaan bahasa kramaku. Kadang aku kelepasan menggunakan bahasa ngoko dengan ibu. Walhasil ibu langsung mengoreksi. Jadi malu sendiri rasanya. Setelah melihat kejadian kemarin aku jadi menyadari perubahan itu. Dan sedikit mengubah pikiranku jaman kecil tentang berkomunikasi bahasa krama dengan teman sebaya. Bahwa sebenarnya itu tidak masalah, lebih menghargai orang lain malah.


*)pernah dipublikasikan di http://www.facebook.com/note.php?note_id=420881003768.22 Juni 2010

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tontonanmu, Imajinmu

Para Pembaca yang terhormat, terutama para Kaum Wanita yang punya hobby nonton drama korea dan sebagainya. Sekedar berbagi pemikiran yang tiba-tiba terlintas nih gara-gara baru saja nonton video-video Korea gitu. Semoga bisa jadi bahan obrolan menarik ya ibu-ibu. Ibu-ibu pencinta drama Korea pasti sudah hafal dengan tema yang disajikan film-film Korea atau Taiwan yang kalian pernah tonton. Penggambaran tokoh-tokoh yang setipe hanya saja dikemas dalam kemasan brbeda. Ibaratnya coklat dengan bungkus berdeda dan nama dagang berbeda pula. Sebenarnya hanya ada tiga jenis penokohan, yaitu tokoh utama pria, tokoh utama wanita, dan tokoh orang ketiga entah itu pria atau wanita tetapi lebih sering digambarkan dalam wujud laki-laki. Sisanya hanya pemain pembantu yang seddikit memberi bumbu. Tapi saya bisa menebak isi hati ibu-ibu semua pasti setuju kalau cerita drama Korea maupun Taiwan tidak pernah membosakan untuk kalian tonton kan? Mulai dari zaman Meteor Garden dari Taiwan mengawali mu...

Pilih Channelmu

Terinspirasi ketika sedang bercanda dengan teman ketika sedang belajar bersama. Ini murni tejadi karena saking stressnya sama ujian, sehingga memunculkan ekspresi-ekspresi lucu. Sedikit berbagi saja ya. Ini akan jadi seperti penggambaran isi-isi “televisi” kita kalau saja kita mau membongkarnya. Hehe... Oh ya sebagai gambarannya adalah aku dan temanku, sebut saja namanya Mba Nani sedang bermain peran. Melebay-lebaykan yang sudah lebay. Haha... Geje sekali kalimat yang aku buat ini. Ok, langsung saja kita simak penggalan cerita penuh makna dan syarat muatan ini (kontainer!). Mba Nani: Day, kamu lebayatun banget yah... Aku: Hahaha... Kak Fadhil, percaya sama Mila, kak.. Kamila sayang sama kak Fadil... Ouch.. Mba Nani: Awas kau Fitri, tunggu pembalasanku... (sambil menaikkan dagunya) Aku: Yak, next ganti channel!! Brebebetttt brebeettt... (suara ganti channel tapi bures) Klik... (penggantian channel berhasil) Aku: Kisanak datang dari mana? Silahkan istirahat dulu di ...

Jadi Mahasiswa Harus Mau Kerja Keras

Judulnya agak gimana gitu yah, semacam tulisan gede-gede yang biasanya ada di spanduk-spanduk pinggir jalan yang isinya promosi mau ada seminar motivasi. Cukup menjual setidaknya untuk dibaca kalangan teman yang tentu saja dipaksa baca haha. Sebagai mahasiswa senior (karena kelamaan gak lulus :'( udah kayak sekolah SD), sudah banyak banget cobaan sebagai mahasiswa yang dilalui. Okeh kalau kata "cobaan" kesannya terlalu lebay, tapi keukeuh gak mau aku ganti jadi kata yang lebih halus karena gak nemu kata penggantinya. Mau dari mana dulu nih ceritanya? Semua mahasiswa tua pasih pernah donk ngalamin jadi MaBa alias mahasiswa baru? Coba inget-inget deh gimana rasanya? Hina banget yah haha.. Kamu bakal gak merasa hina mungkin karena dapet gebetan di akhir ospek, bisa temen sekelompok atau beruntungnya adalah senior clink. Tapi seberat apapun cobaan ketika jadi MaBa tentulah belum apa-apa karena yang dihadapi masih sesama mahasiswa juga, yang mungkin bakal kamu temukan l...